Aku dan Aling

06.19 0 Comments

Batu tempatku berdiri ini masih sama seperti dulu, tak terkikis dengan hantaman ombak yang berulang kali menerpa. Sama seperti ingatanku akan kenangan-kenangan yang ada di pantai ini, di batu ini. Seperti dulu, suara ombak adalah favoritku, aroma laut seperti mengantarku kembali ke masa lalu saat laut ini masih bersih tanpa ada kapal-kapal pariwisata seperti sekarang. Kupejamkan mata dan kurasakan angin menerpa lembut raga yang sudah mulai menua dimakan oleh waktu ini. Suaramu sayup-sayup terdengar di telingaku, aku tau ini tidak nyata, hanya ilusi yang sengaja laut berikan padaku untuk tetap mengenangmu meskipun telah empat puluh tahun berlalu. Suaramu itulah yang membawaku kembali ke tempat ini, tempat kenangan kita dulu. — “Hey, Agam! Ah payah kau, lari saja lama sekali,” Aling yang sudah berdiri dengan gagahnya di atas batu tempat kita biasa menghabiskan sore, meneriakiku supaya berlari lebih cepat. Aling memang seorang perempuan, tapi jangan diragukan lagi, larinya bagaikan maling, gesit dan cepat sekali. “Cepatlah! Lihat, airnya jernih sekali,” teriaknya sekali lagi. “Kamu kan tau, Ling, aku tidak bisa lari cepat,” jawabku sambil terengah-engah. “Makanya olahraga dong, kamu di rumah saja sih kerjaannya, jadi sekalinya lari langsung capek begini,” aku tidak sempat lagi menanggapi komentar Aling. Aku langsung terduduk di atas batu yang besar ini. Bentuknya hampir mirip karang, tidak banyak orang yang tau lokasi batu ini karena tempatnya yang jauh dari keramaian pantai. Dari batu ini, aku dan Aling sering menghabiskan sore sambil melihat matahari terbenam. Airnya yang jernih dan ombaknya yang hangat membuat kami senang berlama-lama di sini meski hanya sekedar duduk mengobrol atau memungut sampah yang mengambang di permukaan. Aling adalah seorang gadis berdarah campuran Jepang-Indonesia. Sebenarnya, namanya adalah Aiko, tapi seperti yang sudah kukatakan tadi, ia bisa berlari secepat maling, jadi banyak teman-teman yang memanggilnya “Aling” alias “Aiko Maling”. Bukannya tersinggung, Aiko justru senang-senang saja disebut seperti itu, “Justru dengan begitu teman-teman akan selalu ingat aku ‘kan, Gam.” begitu katanya. Sejak kecil, kami sudah bersahabat karena kami adalah tetangga. Saat pertama kali Aling datang ke rumah, aku heran melihat pipinya yang bersemu merah dan kontras sekali dengan kulitnya yang putih pucat. Sedangkan aku, yang murni berdarah Jawa berkulit coklat, belum pernah melihat gadis cilik seperti Aling. Seperti boneka, batinku. Beda dengan diriku yang masih malu-malu saat disuruh berkenalan, Aling justru tanpa malu-malu mengenalkan diri padaku. “Namaku Aiko, kata mama itu artinya kasih sayang,” begitu katanya dengan sedikit logat yang menurutku aneh. Tak disangka-sangka, ternyata aku dan Aling sama-sama memiliki kekaguman khusus dengan laut. Apalagi, laut di daerah kami sangat indah. Airnya jernih, ombaknya hangat dan suasananya pun menenangkan. Dulu, aku sering pergi sendiri ke tempat ini hanya untuk sekedar duduk-duduk menghabiskan sore sambil memejamkan mata dan mendengar deru ombak. Namun sejak ada Aling, semuanya berbeda. Pernah suatu sore sepulang sekolah, aku merasa frustasi karena banyak temanku yang mengejekku dengan sebutan ‘gendut’. Karena sedih, setelah bel sekolah berbunyi, aku segera melesat pergi menuju ke batu tempat aku biasa menghabiskan soreku. Sambil menangis, aku berlari, tak sadar bahwa di belakangku ada mata penasaran yang mengikutiku dengan sepeda kecilnya. Sesampainya aku di sana, aku segera terduduk dan memeluk lututku sambil menangis. Aku tidak bersuara, sebab malu jika dilihat orang. Tiba-tiba ada tangan yang menyentuh pundakku, dengan perasaan kaget aku melihat ke atas, dan di sana aku lihat Aling berdiri. Kulitnya yang pucat diterpa matahari, rambutnya yang halus tertiup angin laut, wajahnya mengulas senyum hangat sehangat matahari sore saat itu. “Kamu kenapa menangis? Boleh aku duduk di sini?” katanya dengan setengah menunduk. Aku hanya mengangguk, dalam hati aku bertanya-tanya, kenapa dia bisa sampai di sini? Ah sudahlah, aku kembali memeluk lututku. “Pasti kamu diejek sama Rino ya? Rino yang iseng itu loh,” Aling diam sesaat. “Sudahlah biarkan saja, kamu tau kan namaku Aiko, tapi karena lariku kencang, aku dipanggilnya Aling alias Aiko Maling,” Aling tertawa. “Tahu siapa yang panggil aku begitu? Itu tuh, si Rino dan teman-temannya itu. Aku tidak marah sama Rino, karena memang aku kalau lari seperti maling, dan justru dengan begitu teman-teman akan selalu ingat aku ‘kan, Gam?” aku tahu Aling mengalihkan pandangannya ke laut, tangannya mengelus-elus pundakku dengan lembut, “Sudahlah jangan menangis, lihat pemandangan di sini indah sekali, sayang kalau kamu ke sini hanya untuk menangis.” Sesaat hanya terdengar sisa-sisa tangisku yang belum hilang. Namun entah kenapa, karena ada Aling aku merasa tenang, kemudian berhenti menangis. Sejak saat itu setiap sore aku dan Aling selalu pergi ke pantai. Mulanya aku merasa canggung karena terbiasa sendiri jika di pantai, tapi hangatnya pribadi Aling menghilangkan rasa canggung itu. Aling adalah seorang pemberani, dia sering berdiri di ujung batu, sementara aku takut melihatnya jatuh. Dia selalu tertawa, sangat berbeda dengan aku yang pendiam dan lebih suka tersenyum. Kehangatan Aling seperti penyakit yang menulari setiap orang yang ada di dekatnya. “Hey, melamun saja kamu ini, lihat itu, lautnya indah sekali, ombaknya hangat. Coba kalau kamu lihat terus-menerus, laut itu seperti memberi pesan ketenangan kepada setiap penikmatnya,” celoteh Aling. “Aku senang sekali tinggal di sini, Gam. Alamnya indah, apalagi pantainya. Aku selalu kagum melihat ini semua, bayangkan, Tuhan bisa menciptakan sesuatu sesempurna ini. Andaikan semua manusia seperti kita, pasti alam akan selalu seperti ini, indah dan menenangkan. Ya, ‘kan, Gam?” Aling menoleh ke arahku, air mukanya bersemangat, “Ya, Ling. Berada di sini membuatku sadar bahwa alam juga butuh dijaga, siapa manusia yang sanggup merusak keindahan seperti ini.” Kemudian hening. Aling berdiri dan berjalan ke ujung batu. Dia kemudian merentangkan tangannya. Sambil berdiri, ia menghirup udara dalam-dalam. Kebiasaan ini selalu dilakukan Aling sebelum kami beranjak pulang. Sore itu sebelum kami pulang, Aling berkata, “Gam, kamu harus selalu datang kemari ya. Lihat-lihat, siapa tau ada perubahan-perubahan yang tidak sempat aku lihat.” Aku hanya mengangguk sepintas kemudian berjalan pulang bersama Aling. — Seperti biasa, suatu sore sepulang sekolah, aku dan Aling berjalan bersama menuju ke pantai. Ada yang aneh hari ini, Aling berubah pendiam. Ia yang jalan di belakangku sambil menuntun sepedanya diam saja, tidak berkata apapun, padahal biasanya Aling selalu mengajakku ngobrol atau bercanda. Mungkin hari ini dia sedang ingin diam saja, batinku. Tak sadar, aku terus saja berjalan dan tidak menoleh ke belakang. Saat menoleh kulihat Aling berhenti jauh di belakangku. Dia tidak berdiri, melainkan jongkok di samping sepedanya, memeluk lutut. Dari jauh dapat kulihat tubuhnya yang bergetar, seakan-akan hendak menangis. Panik, aku segera berlari menghampiri Aling, “Kenapa kamu, Ling?” tanyaku panik. Aling diam saja, malah makin erat memeluk lututnya dan makin bergetar pula tubuhnya. “Aling, ada apa sih? Bicara padaku, Ling.” Aling menggeleng. Makin bingung aku menghadapinya. Sebagai seorang laki-laki yang belum pernah melihat seorang perempuan menangis, aku hanya bisa ikut jongkok di sebelah Aling dan diam sambil memegang tubuhnya yang bergetar. Ada apa ini? Tidak biasanya Aling seperti ini. “Ya sudah, Ling, kalau kamu tidak mau kasih tau, tapi jangan nangis di sini. Ayo berdiri, kubonceng kamu sampai ke batu ya.” Aling menurut. Dia hanya berdiri tanpa berkata apa-apa dan kemudian naik ke boncengan sepeda. Sesampainya di batu pun Aling tidak berkata apa-apa, dia hanya turun dan langsung duduk di atas batu sambil memeluk lututnya. Aku belum pernah melihat Aling menangis, murung pun jarang sekali. Ia hanya pernah murung sekali, seingatku, saat ayahnya bilang sepedanya akan dijual. Tapi itu pun hanya sehari karena keesokannya ayahnya bilang sepeda Aling yang lama akan diganti dengan yang lebih baru. Aku langsung duduk di sebelah Aling setelah memarkirkan sepeda. Awalnya aku ingin bertanya, tapi kuurungkan niatku. Lebih baik Aling menangis dulu sampai lega, baru jika ia bersedia menceritakan apa yang membuatnya menangis, ia bisa bercerita kepadaku. “Gam,” tiba-tiba terdengar suara lirih Aling. Aku segera menengok dan mendapati Aling sedang menyeka air mata di pipinya yang merah. Tanpa sadar, tanganku refleks menggapai pipinya dan mengusap air mata di sana. Aling tidak berkata apa-apa, tidak juga menatapku. “Ada apa sih, Ling? Tidak biasanya kamu menangis seperti ini.” Aling diam sejenak dan menarik nafas, “Papa akan pindah tugas, Gam. Dan seluruh keluargaku pun akan pindah,” aku kaget, namun tidak berkomentar apa-apa, “Sudah berapa lama kita bersahabat, Gam? Sepuluh tahun? Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan daerah ini, lautnya yang indah, ombaknya yang hangat, suasananya yang tenang dan kamu, Gam, sahabatku satu-satunya,” lanjut Aling, aku masih diam. “Jika aku pindah, maka semuanya akan berbeda, Gam. Aku akan rindu sekali dengan alam ini, karena aku akan pindah ke kota. Tidak akan bisa lagi kunikmati sore-sore sepulang sekolah, berjalan menuntun sepeda ini di jalanan yang sejuk, dipayungi oleh pohon-pohon rindang di sepanjang jalan. Tidak akan bisa lagi aku duduk di batu ini menikmati deburan ombak dan aroma laut yang sangat aku suka. Tidak bisa lagi…” Aling menutup wajahnya dengan tangan dan kembali menangis tersedu-sedu. Aku jadi ikut sedih, ingin meneteskan air mata tapi kumalu. Jadi aku merangkul Aling dan berkata, “Kamu masih bisa ke sini, Ling. Jika kamu pindah, kapan-kapan datanglah ke rumahku dan kita bisa pergi ke batu ini seperti biasanya, aku akan menemanimu. Batu ini masih milik kita, tidak apa-apa, Ling.” Hanya itu yang dapat kukatakan sembari merangkul Aling. Sore itu kami habiskan dengan diam dan sesekali suara isak tangis Aling terdengar. Tidak ada satu pun dari kami yang berkata-kata, tapi kami berdua sama-sama menyadari, semuanya tidak akan sama lagi jika kami berpisah. — Hari-hari pun berjalan cepat, Aling seperti menjadi orang lain. Bagiku Aling jadi pendiam, meskipun keceriaannya tetap ada. Seminggu setelah Aling mengatakan akan pindah rumah, kami masih pergi ke batu sore hari sepulang sekolah. Aling lebih banyak diam, meskipun sesekali mengajakku mengobrol atau sekedar bercanda. Terakhir kali kami pergi ke batu di penghujung hari minggu sore itu Aling berkata padaku, “Benar ya, Gam, kamu antar aku ke sini kalau suatu saat aku pulang. Dan janji sama aku ya, Gam, kamu akan selalu ke sini, jagain lautnya. Jangan buang sampah sembarangan, kalau liat sampah pungut aja seperti biasanya kita lakukan.” Aku mengangguk dan menggenggam tangan Aling erat. Sedih rasanya, tapi aku tidak mungkin menunjukkannya di depan Aling karena itu hanya akan membuatnya makin sedih. Untuk pertama kalinya aku berani berdiri di ujung batu ini sambil menggenggam tangan Aling. Aku menoleh, melihat wajah Aling yang sedang memejamkan mata sipitnya dan menghirup udara dalam-dalam. Wajahnya yang diterpa sinar matahari sore membuat pipinya bersemu merah, bibir mungil merah mudanya seperti berkata sesuatu dalam diam. Tak disangka tiba-tiba sebutir air mata mengalir dari sudut matanya. Aku terkejut dan tanpa disangka Aling berbalik dan memelukku, “Agam, aku pasti akan rindu dengan alam ini, laut ini, ombak ini, suara burung-burung camar ini, aroma laut ini, kamu dan teman-teman, dan semua ini, Gam…” Aling menangis di bahuku dan tanpa bisa kutahan lagi aku pun ikut menangis. “Kamu harus selalu kesini ya, Gam.” Lanjut Aling kemudian melepas pelukannya dan kembali menatap laut. Aku yang bingung hanya bisa merangkul Aling dan berkata ‘Aku janji, Ling’ secara samar-samar. Meski begitu, aku tau Aling pasti mendengar perkataanku. Keesokan harinya, bertepatan dengan hari ulang tahun Aling, tiba juga hari Aling harus pindah. Ia sudah tidak terlihat sedih lagi, meskipun matanya bengkak dan aku tahu ia habis menangis semalaman. Sebelum pergi Aling memaksaku lari menuju ke batu untuk terakhir kalinya. Aling saat berlari tetaplah Aling yang dulu, cepat seperti maling. Sedih rasanya mengingat mungkin ini hari terakhir aku dan Aling berlari bersama menuju ke batu, tapi melihat wajah Aling yang secerah ini membuatku tak kuasa memperlihatkan wajah sedihku dan membuatnya ikut sedih juga. “Agam, Agam, sampai kapan kamu mau lari selama itu? Cepat sini waktu kita tidak banyak!” Teriak Aling dari atas batu. Aku terngah-engah dan setengah menunduk bertumpu dengan lutut begitu sampai di atas sana, “Aku pasti kemari lagi laut!” teriak Aling berkali-kali, mengucapkan janji bahwa ia tidak akan melupakan laut ini apalagi membiarkan laut ini terbengkalai dan menjadikan aku sebagai jaminannya. Lucu memang melihat sebegitu dekatnya aku, Aling dan laut, namun beginilah adanya. Lautlah yang menjadi saksi bisu persahabatanku dengan Aling, suka dan duka dan kecintaan kami pada alam. Seperti mengerti akan kepergian Aling, ombak hangat menyapu kaki kami hingga sebatas betis, Aling jongkok dan memegang batu tampat kami biasa duduk-duduk, “Semoga kamu tidak terkikis ombak-ombak ini ya, Batu.” Kata Aling. Kemudian sekali lagi ia berdiri dan merentangkan tangan sambil menghirup udara laut dalam-dalam seperti biasanya sebelum kami beranjak pulang ke rumah. Sebisa mungkin aku melihat Aling lekat-lekat untuk terakhir kalinya, karena esok hari aku tidak akan bisa lagi melihat Aling bertingkah seperti ini. Setelah itu waktu terasa cepat, Aling yang mengajakku pulang, pelukan terakhir Aling sebelum kami berpisah, aku bahkan memaksa ayah untuk mengantar Aling ke stasiun demi mengulur waktu tapi tetap saja terasa cepat. Sore itu setelah pulang dari stasiun, suara deburan ombak, kicauan burung camar, bunyi rem sepeda Aling dan tawa khas Aling bercampur jadi satu di dalam telingaku. Memunculkan siluet bayangan Aling yang sedang tersenyum diterpa matahari sore muncul setiap kali aku memejamkan mata. Membuat seorang laki-laki berumur 14 tahun sepertiku mengerti apa artinya rindu. — Tiga puluh satu tahun kemudian… Sore hari aku bergegas menuju batu di pinggir laut itu. Hari ini adalah hari ulang tahun Aling, tepat tiga puluh satu tahun berlalu sejak kepindahan Aling. Entah mengapa aku masih setia menunggu Aling menepati janjinya untuk kembali lagi kemari dan duduk-duduk sore seperti yang dulu sering kami lakukan. Tiga puluh satu tahun berlalu sejak Aling pindah, tiga puluh satu tahun pula aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya, terakhir kudengar Aling pindah lagi ke Denmark 3 bulan setelah kepindahannya dari sini, dan tiga puluh satu tahun sudah Aling yang kunanti-nanti tak pernah kembali. Sesekali Aling muncul dalam mimpiku, berlari di depanku atau berdiri sambil merentangkan tangannya di atas batu ini. Aling yang berumur empat belas tahun, dengan rambut sebahunya, tawa khasnya dan pipi merahnya mentapaku. Tiga puluh satu tahun sudah aku selalu bergegas pergi ke batu setiap hari ulang tahun Aling, berharap mungkin saat aku memejamkan mata, ada tangan yang menepuk pundakku seperti dulu saat Aling menepuk pundakku ketika aku menangis. Tapi nihil, tidak pernah ada. Hari ini aku kembali berdiri di atas bukit, merentangkan tangan. Tanpa sadar kebiasaan yang dulu sering Aling lakukan menjadi kebiasaanku juga. Kupejamkan mata dan kudengarkan suara ombak, kicau burung camar dan kuhirup aroma laut dalam-dalam. Cuaca laut saat ini sedang indah-indahnya, tidak banyak yang berubah setelah tiga puluh satu tahun meskipun beberapa restoran banyak yang telah dibangun dan daerah pantai di sekitar laut yang mulai dikembangkan sebagai daerah pariwisata. Tetap saja, setiap kali aku memejamkan mata dan menyatukan diriku dengan laut, bayangan Aling selalu muncul, tertawa, berlari dan merentangkan tangan di depanku. Saat sedang mendengarkan deru ombak yang diiringi dengan kicau burung camar, kurasakan ada tangan kecil yang menarik-narik saku celanaku, terkaget, aku pun membuka mata, menengok ke bawah dan melihat seorang gadis cilik… wajahnya mirip Aling saat pertama kali ia datang ke rumahku. Aku kenal betul dengan wajah ini, hanya saja… ada apa dengan hidungnya? Ya, hidungnya sedikit berbeda dengan Aling. Apakah ini… “Om, Om pasti Om Agam ‘kan? Temannya mama?” anak kecil itu berkata, matanya yang bulat polos menatapku. Temannya mama? Lalu siapa anak ini? Apakah dia… Anak kecil itu kembali menarik saku celanaku dan membuyarkan lamunanku, dari jauh aku lihat ada seorang laki-laki sebayaku mendekat. Aku yakin betul bahwa anak ini ada hubungan darah dengan Aling, garis matanya menyiratkan segalanya. Laki-laki itu semakin mendekat, kemudian berdiri berhadapan denganku, mengulurkan tangannya, “Perkenalkan nama saya Adry, suami Aiko. Mas pasti Agam, ‘kan, sahabat Aiko?” jadi benar dugaanku. Lalu, dimana Aling? “Perkenalkan juga, Mas, ini Aimee putri kami.” Lanjut laki-laki itu sembari menyuruh Aimee menyalamiku. Aku hanya tersenyum melihat Aimee. Ia betul-betul mirip dengan Aling. “Ada perlu apa datang kemari, Mas?” tanyaku dengan sopan. Laki-laki itu kemudian mulai bercertita… Empat tahun yang lalu, sehari setelah Aimee lahir, Aling mengalami komplikasi yang membuatnya koma selama empat hari. Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga Aling tetap hidup tapi tuhan berkehendak lain, lima hari setelah kelahiran Aimee, Aling kembali kepada tuhan meninggalkan suami dan ketiga putrinya. Setelah kepeninggalan Aling, Adry memutuskan untuk membongkar lemari lama berisi berkas-berkas milik Aling dan menemukan album foto yang sudah usang. Ketika Adry membuka album itu, tertera judul yang ditulis dengan huruf kapital berbunyi “AKU, ARIA DAN LAUT” di sudut kanan bawah album itu ada tempelan cangkang kerang berwarna putih dan di atasnya ada gambar 3 burung camar dan gulungan ombak yang digambar dengan tangan. Adry membuka-buka album itu dan isinya adalah foto laut, ombak, pantai, burung camar, batu, langit sore, Aling sendiri dan aku. Adry menangis melihat album itu, kemudian ia mendekapnya, dan ternyata ada surat yang jatuh dari album itu. Surat dengan perangko kira-kira dua puluh tahun yang lalu, yang sampai saat ini tidak pernah dibuka oleh Adry. “Karena itu aku datang kemari dan aku rasa surat dan album ini pantasnya disimpan olehmu, bukan olehku. Sepertinya ini sebuah pesan dari Aiko.” Begitu ujarnya menutup ceritanya sore itu. Langit mendung, berwarna kelabu seperti akan hujan. Aku mengajak Adry untuk mampir ke rumahku, tapi katanya tak perlu, tadi sudah mampir mencariku dan orang rumah bilang aku sedang pergi ke pantai. Adry dan Aimee akhirnya bergegas pulang, begitu juga dengan aku sambil memeluk album itu, menyusuri jalan dengan hujan gerimis dan angin laut yang dingin menusuk hingga ke tulang. — Sore itu hujan deras. Sampai di rumah, aku segera membuka album itu dan melihat wajahku dan Aling di sana. Foto pertama kami saat aku tercebur ke laut, bukannya membantu, Aling malah mengarahkan kameranya berbalik dan jadilah foto kami berdua dengan mukaku yang kusut. Hampir di setiap foto, wajah Aling selalu ceria. Ada satu foto saat Aling sedang berdiri merentangkan tangannya dan aku ingat betul siapa yang mengambil foto itu. Foto itu aku sendiri yang mengambil, sembunyi-sembunyi saat Aling sedang tidak melihatnya, tak kusangka foto ini dicetak dan dialbumkan oleh Aling. Di bawahnya ada tulisan, ‘Indah ‘kan alamnya? Aku suka sekali di sana, lihat langitnya begitu biru. Memang alam adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna.’ Tersenyum aku melihatnya, hingga foto terakhir kami di stasiun yang diambil oleh ayahku dengan keterangan ‘SAMPAI JUMPA LAGI, AGAM!’ tanpa sadar air mata menetes dari pipiku, menyadari bahwa kami sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk bertemu lagi. Kupeluk album itu sesaat, kemudian aku ambil surat di tengah halaman dan mulai membacanya, “Teruntuk sahabatku, Agam, Hai, apa kabarmu di sana? Semoga baik-baik saja ya. Kabarku di sini baik-baik saja. Aku sekarang ada di Denmark. Banyak sekali yang ingin aku tulis untukmu, Gam, tapi pertama-tama aku akan memberi tahumu satu hal, aku akan segera menikah! Iya, menikah! Dengan laki-laki bernama Adry. Ia orang Indonesia yang baik sekali. Ia juga mengenalmu, aku sering menceritakanmu padanya, dan ia ingin sekali berkenalan denganmu. Setelah menikah nanti, kami akan pulang ke Indonesia dan memulai hidup di sana. Semoga aku bisa kembali ke desa kota dan jalan-jalan ke pantai bersamamu ya, Gam. Bagaimana keadaan laut? Apakah masih sama seperti dulu? Apakah batu besar itu masih ada di sana? Apakah kamu masih selalu kesana setiap sore atau mungkin hanya sesekali? Aku harap kau masih ke sana dan jangan lupa beritahu aku jika ada perubahan ya! Aku rinduuuuuu… sekali padamu, pada laut kita, pada batu kita dan segalanya yang ada di sana. Aku harap tidak ada yang merusak alam indah ciptaan Tuhan di sana, sehingga saat aku ke sana nanti, aku masih bisa menikmati deru ombak, suara burung camar dan matahari sore yang hangat. Tentu saja bersamamu dan bersama keluarga kecilku nantinya. Tunggu aku ya, Gam! Sekian dulu surat dariku, kuharap kamu membaca dan membalasnya. Mungkin surat ini sampai saat hari ulang tahunmu, jadi kuucapkan saja selamat ulang tahun, Aria, semoga panjang umur dan sehat selalu, sukses dalam menjalani hidup dan selalu ingat padaku. Sampai jumpa lagi! Dari sahabatmu, Aling a.k.a Aiko Maling.” Ya, Aling, sudah tentu aku mengingatmu dan selamat ulang tahun. Semoga kau bahagia di sana dan selalu mengingatku, doaku dalam hati. Kupeluk album itu tanpa bisa berkata-kata lagi. Aku bukanlah seorang bocah berumur empat belas tahun seperti dulu, namun setelah tiga puluh satu tahun berlalu, di usiaku yang sudah kepala empat ini aku masih bisa melihat bayangan wajah Aling setiap kali aku memejamkan mata diiringi dengan suara ombak, kicau burung camar dan hangat matahari sore. Aku bukan bocah berumur empat belas tahun lagi, tapi aku tidak bisa menahan air mata yang turun saat ini, mengingat bahwa Aling sudah tiada dan tidak mungkin ada jumpa lagi. Aku menangis hingga tertidur, mempikan Aling dengan pipi merah dan kulit putih pucatnya berlari sambil tertawa di depanku, dengan latar belakang laut biru kesayangan kami. — Aku membuka mataku yang basah oleh air mata. Aku selalu mengingatmu, Ling, batinku. Tak peduli jika ada orang yang melihatku bagaikan banci atau orang gila, aku segera menyeka air mata dengan tanganku yang sudah keriput. Rambut di kepalaku sudah banyak yang memutih. Pandanganku sudah kabur, namun tak sedikit pun kenangan tentang Aling kabur dalam benakku. Aku masih mengingatnya. Aku masih ingat teriakannya menyuruhku lari lebih cepat, bunyi rem sepedanya dan sudah tentu tawanya yang khas. Tempat ini selalu menjadi kenangan. Bagaimana pun perubahannya, Aling selalu hidup di tempat ini dan di hatiku. Bersama dengan deru ombak, kicau burung camar dan hangatnya matahari sore.

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: