Last Rain

06.20 0 Comments

Hujan menyambut pagi ini dengan senyumnya. Tanah di sekitarku mengeluarkan aroma khas yang tak bisa disamakan dengan aroma manapun. Dedaunan juga merunduk tak kuat menahan air yang mengguyurnya. Angin berdesir membawa hawa dingin menusuk tulang. Aku menengadah menatap langit yang mengeluarkan butiran air bening. Kurentangkan tanganku untuk menyambut hujan. Kubiarkan hujan ini membasuh tubuhku, nodaku dan sakitku. Air dari mataku pun mengalir bersatu dengan hujan yang membasahiku. Seiring hujan yang terus menyelimuti tubuhku, kenangan-kenangan itu muncul dalam fikiranku seperti film lama yang diputar kembali. Kenangan yang mengingatkanku akan segalanya. Segala hal yang kurindukan. Tiga tahun lalu aku begitu membenci hujan, sangat membencinya. Hingga akhirnya ketika aku bertemu seorang laki-laki yang menunjukkan padaku betapa indahnya tersenyum di antara hujan. Siang itu aku terjebak hujan dan memutuskan untuk menunggu hujan reda di halte. Kupikir aku sendirian di halte itu ketika kulihat ada seorang laki-laki turun dari bus dan duduk di sampingku. Laki-laki tersebut memakai celana jeans panjang dan kemeja kotak-kotak berwarna hijau dan di tangannya terdapat sebuah jaket abu-abu yang digunakannya untuk menghangatkan tubuhnya. Beberapa menit waktu berlalu dan sunyi melingkupi kami berdua, kukira ia tak tahan dengan diamku hingga akhirnya ia mengajakku berkenalan. Baru beberapa menit kami berkenalan, aku tak melihat kecanggungan di matanya. Ia menceritakan banyak hal padaku tanpa peduli kalau kami baru kenal. Aku juga menceritakan banyak hal padanya, hingga akhirnya aku bercerita padanya kalau aku begitu membenci hujan. Setelah aku selesai bercerita, ia menatapku bingung. Kemudian ia mengajakku berdiri dan menari di tengah hujan, tapi aku menolaknya. Ia tak putus asa, tangannya yang kuat menyeretku ke tengah jalan yang saat itu sepi. Ia mengajakku menari, berdansa, berlari-larian di tengah hujan. Tak terasa hujan telah reda dan matahari kini berada di kaki langit. Kulihat jam di pergelangan tanganku. Apakah aku bermimpi? Selama 4 jam aku bermain dengan hujan bersama orang yang baru kukenal siang tadi. Tapi ini bukan mimpi. Setelah aku sadar, aku memberitahunya bahwa aku harus pulang sebelum orangtuaku mencariku. Kemudian ia menawarkan diri untuk mengantarku pulang dan aku mengizinkannya. Kami berjalan di trotoar. Hening menghampiri kami, ia sibuk dengan pikirannya sendiri dan aku pun begitu. Terlihat di ujung jalan di depan adalah rumahku, aku menunjukkannya padanya. Ia mengangguk dan menarikku dengan setengah berlari. Katanya lebih baik jika aku lebih cepat sampai di rumah. Beberapa menit kemudian kami telah sampai di depan rumahku. Aku menawarinya untuk mampir ke rumahku tapi ia menolaknya. Ia segera izin pulang karena ingin segera berganti pakaian dan ia berjanji untuk berkunjung ke rumahku lain waktu. Beberapa hari kemudian ia menepati janjinya. Siang itu ia berdiri di depan pintu rumahku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja hijau, baju yang dikenakannya ketika pertama kali ia bertemu denganku. Ketika aku membuka pintu untuknya ia menyunggingkan senyumnya yang begitu manis hingga aku tak sadar diri membiarkannya berdiri untuk beberapa saat. Sesaat aku tersadar lalu mempersilahkannya masuk dan duduk. Tak lama setelah aku berbincang-bincang dengannya di luar terdengar suara air berjatuhan. Ia mengajakku duduk di teras dan aku menyetujuinya. Kulihat ia terus memandangi hujan dan tersenyum ke arahnya. Ia seperti tak menghiraukanku, aku terus mengajaknya berbicara tapi ia hanya mengangguk dan berbicara seadanya tanpa menoleh ke arahku. Semakin lama aku semakin tak tahan, kutarik lengannya yang kuat ke halaman rumahku. Aku berdiri berhadap-hadapan dengannya kemudian ia tersenyum ke arahku. Ia mengajakku menari dan berlari-larian seperti saat pertama kali ia bertemu denganku. Aku tak tahu mengapa kini aku benar-benar menikmati indahnya hujan. Aku masih belum memahami mengapa ia begitu mencintai hujan. Aku pun tak mengerti bahwa kurasa kini aku juga mulai menyukai hujan. Suasana yang ia tunjukkan padaku. Aroma-aroma indah yang ia sodorkan untukku. Ya, kini aku benar-benar mencintai hujan, sama sepertinya dan dia yang telah membuka hatiku untuk tak memandang hujan dengan sebelah mata. Kini aku benar-benar merasakan damainya memeluk hujan. Aku telah terpikat oleh belaian lembutnya yang membasahi tubuhku. Sejak kunjungan pertamanya ke rumahku, ia jadi lebih sering berkunjung hingga orangtuaku telah hafal dengan wajah dan sifatnya. Hanya saja ia tak pernah memperbolehkanku untuk mengunjungi rumahnya, bahkan alamatnya pun aku tak pernah tahu. Suatu malam ia datang ke rumahku ditemani oleh hujan. Ia menungguku di halaman. Seperti biasa ia mengenakan celana jeans panjang dan kemeja. Tangan kanannya memegang payung dan tangan kirinya ia sembunyikan di dalam saku celananya. Aku berlari keluar tanpa menggunakan payung dan bergabung bersamanya di bawah lindungan payungnya. Tak seperti biasanya ketika kami tak pernah menghindari hujan kali ini kami berlindung darinya. Kurasa kedatangannya kali ini tak memberi suasana baik. Aku semakin yakin kalau perasaanku benar. Ia tak tersenyum seperti biasanya ketika ia bertemu denganku, ia terus menunduk sedari tadi. Setelah beberapa menit kami hanya terdiam, ia mengangkat wajahnya dan ia memandangku sembari berkata bahwa ia baik-baik saja. Lalu aku menatap matanya dan aku mengatakan bahwa aku tahu bahwa ia tidak dalam keadaan baik. Akhirnya ia menyerah dan ia mengangguk tanda setuju bahwa ia memang tak dalam keadaan baik. Kemudian ia mengatakan tujuannya datang kemari ia ingin berpamitan padaku, ia akan pergi ke luar negeri. Hatiku serasa tersentak, seperti ditindih sesuatu yang membuatku sesak. Tak kusadari air bening mengalir melewati pipiku. Perasaan apa ini? Mengapa aku merasa akan kehilangan seseorang yang amat kusayangi? Ia mencoba menenangkanku dengan mengatakan kalau ia tak akan lama mungkin hanya beberapa saat, tapi aku tak mempercayainya. Ia juga mengatakan kalau aku ingin menemuinya suatu saat nanti, aku harus menunggunya disini saat hujan datang. Setelah selesai mengatakan itu ia meraih tanganku dan menggenggamkan payungnya di tanganku kemudian ia tersenyum dengan manis, senyum tulus terakhirnya untukku sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menerjang hujan. Ia tak berbalik untuk menoleh padaku lagi, ia terus berjalan menunduk dengan kedua tangannya diasembunyikan di saku celananya. Aku terus menatap kepergiannya hingga tubuhnya hilang di kejauhan. Aku menjatuhkan payung yang ia berikan padaku. Kubiarkan rinai hujan memelukku, membasuh tangisku, membiarkanku basah olehnya. Sejak malam itu aku terus berlari ke halaman ketika hujan turun. Aku terus menunggunya hingga dua tahun terakhir. Aku tak mengerti mengapa ia meninggalkanku dengan keadaan seperti ini. Aku mencintai hujan, aku merindukan hujan sama seperti aku merindukannya, seorang laki-laki yang menunjukkan padaku betapa indahnya hujan yang kata orang begitu menyebalkan. Aku juga masih menitikkan air mata namun tak pernah ada yang tahu bahwa aku menangis karena hujan telah menyamarkannya. Hingga saat ini pun aku juga masih menyimpan payung yang ia berikan padaku. Payung berwarna hijau polos itu masih kusimpan baik-baik. Hanya itu yang kupunya, bahkan fotonya pun aku tak memilikinya. Aku tak pernah tau dimana ia tinggal, seperti apa rupa orangtuanya, ia hanya hidup disini, dalam kenanganku. Kenangan yang hanya aku dan hujan yang tahu.

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: