Escape

06.21 0 Comments

Aku tak tau berapa lama bisa bertahan dalam keadaan ambigu ini. Setiap keputusan menimbulkan luka, setiap tatapan menyiratkan rasa bersalah. Sudah hampir sepuluh bulan, tatapku pada kalender di atas meja. Dia diam saja. Tapi aku juga tak butuh jawaban. Pikiranku kembali melayang, Sean cowok yang sudah lama berpacaran denganku. Entah bagaimana, disadari atau tidak aku mulai jengah. Hubungan kami baik-baik saja. Bahkan sangat baik-baik saja hingga aku merasa bosan. Tak ada yang perlu dipikirkan sampai aku harus mencari hal-hal lain untuk dipikirkan. Yang bagaimanapun tak mengusir kebosanan. Dan Re, dia … Kring, kring Aku tersentak, HP di pangkuanku berdering lagi, sudah ke 10 kali namun aku enggan menyentuhnya, bosan. Kuputuskan kembali dalam lamunan. Namun baru beberapa detik berlalu HP kembali berbunyi, lantunan lagu Lenka mengalun. Ku lirik sekilas, huft benar, Sean, kubiarkan saja dan melemparnya ke tumpukan kasur dan bantal di ranjang. Rasa sebal hampir membuatku meledak. Kenapa tak bisa berhenti mengganggu. Kenapa sms tak penting yang bahkan tak mempunyai topik lagi untuk dibahas saja, harus kulakukan setiap hari. Sambil mengambil nafas panjang untuk membuang sedikit rasa kesal. Aku beranjak. Menyalakan komputer dan lekas pergi ke jejaring sosial. Mencari hiburan tentu saja. Beberapa teman sekolah tersedia dalam jejaring sosial. Dan Re, sudah hampir sebulan kami tak berhubungan. Kami teman dekat, menurutku. Dia penting dengan caranya sendiri. Lebih dari sahabat tapi tentu bukan pacar. Aku cukup setia untuk menjaga agar hanya satu orang yang menjabat sebagai pacar dalam kerajaanku sendiri. Entah dia masih mengingatku atau tidak kuberanikan diri menyapanya. Seperti biasa sapaan yang cukup berani. Dia merespon, hatiku tersenyum, kamu mengobrolkan tentang apapun. Inilah kenapa aku menganggapnya penting. Seumur hidup baru dia orang yang sangat cocok denganku. Kesukaan, obrolan, topik-topik mengalir tanpa perlu dicari. Tanpa memaksa untuk terus bicara. Kami memiliki luar biasa banyak kesamaan, menurutku. Dan jelas aku menyukainya. Dan sore ini dia berhasil membuat suasana hatiku membaik. Baguslah. Aku menutup internet namun sudah memiliki nomor HP Re. Meski ingin, aku menahan diri untuk tidak mengiriminya pesan singkat. Dengan malas-malasan kubuka HPku dan melihat pesan-pesan yang dikirim Sean sekilas, membalasnya dengan tetap malas-malasan. Namun cowok ini. Masih saja membalasnya dengan bersemangat. Aku merasa bersalah namun tetap malas membalasnya lagi. Kulempar HPku dan beranjak keluar kamar. Sean mengajakku keluar, entah bagaimana rasa enggan semakin tebal menyelimutiku. Aktifitasku jadi aneh sekarang. Membuka internet dan melirik setiap menit pada siapa-siapa saja yang tersedia dalam obrolan. Diam-diam menunggu Re datang. Dan benar saja dia hampir selalu datang. Aku memulai obrolan. Dan kata demi kata mengalir dalam harmoni yang lembut. Kami pernah sangat dekat, lebih dekat dari sekarang. Namun dia tampak tak ingin berhubungan lebih jauh. Mungkin seperti ini sudah cukup. Kurasa juga tak perlu berlebihan. Mungkin aku dan Re sama-sama menyadari bahwa hal-hal berlebihan bisa sangat memuakan. Sudah kubilang kami memiliki banyak kesamaan. Dan begini saja cukup. Dua hari ini aku mulai tak lagi memaksakan diri membalas pesan-pesan dari Sean. Aku tau dia menyayangiku. Sangat menyayangiku. Berlebihan. Dan aku pun tak membencinya. Dia tipikal cowok yang luar biasa baik. Tak pernah marah sedetik pun padaku. Meski semua hal yang telah kulakukan padanya. Kecuali memiliki pacar lain mungkin, Sean sangat menghargai komitmen. Dia akan meledak jika aku menduakannya. Dan BUM aku tak mau semuanya meledak dan hancur karenaku. Aku terlalu asik dengan Re, mengkin karena rindu, tapi hati kecilku berbisik ini hanya selingan. Entahlah, selingan atau bukan aku memang menyukai Re, dari dulu, dan tak ingin kuubah. Telfonku berdering, no name. Kuangkat. Suara Sean menggema di telingaku, dia menyembunyikan nomornya demi agar kuangkat, licik. “De? Halo De?” “Ia? Ada apa?” Jawabku ragu-ragu “Kemana saja? Kenapa tak menganglat telfonku, smsku juga tak kau balas. Kau kemana saja? Aku khawatir kau kenapa-napa.” Berlebihan, memuakan. “Aku, pulsaku habis” jawabku mengarang alasan “Aku ingin bertemu denganmu. Tolong, bisakah? Kita sudah 2 minggu tak bertemu. Dan tingkahmu aneh.” Berlebihan, memuakan. “Baiklah” jawabku, terpaksa. Dia menghela nafas lega sepertinya dan kembali berkata-kata manis. Berlebihan, memuakan. Kututup telfon setelah lelah berbasa-basi. Kami bertemu besok, tempat dan waktu sudah disepakati. Dan kelebat-kelebat bayangan mulai tampak lebih jelas di otakku sekarang. Mungkin aku harus memutuskannya. Aku hampir gila karena bosan dan rasa terkurung. Aku benar-benar merindukan kebebasan. Dan meski akan sangat menyakitkan aku harus mengambil keputusan. Kubaringkan kepalaku di atas ranjang istanaku, kamar. Batinku bergolak dan berguncang keras. Mungkin aku harus segera memutuskan Sean. Dia akan terluka. Pasti. Akupun akan terluka. Tapi kebebasan sudah menjadi obsesiku. Lebih penting daripada menyelamatkan dua hati dari kehancuran. Mungkin Re saja sudah cukup. Sahabat saja sudah cukup. Ketika hampir terlelap. Dering HP menyentakku. SMS pertama dari Re. Dan entah kebetulan macam apa yang menyertainya. Dia juga mengajakku bertemu, rindu, katanya. Aku senang tapi tak berdaya. Jelas aku sedang di persimpangan dan harus melangkah. Dalam semalam aku harus membuat keputusan. — Sean sudah datang, tinggal beberapa meter dari tempatku berdiri sekarang. Semalam jelas sudah kuputuskan akan mengakhiri semua ini. Akan kuucapkan sehalus mungkin hingga Sean tak sadar bahwa hatinya sedang diiris dipotong menjadi dua. Akan kulakukan selembut mungkin. Setelah semuanya selesai, aku baru akan menemui Re, jika itu belum terlambat. Atau jika aku punya cukup keberanian untuk melukai Sean. Namun begitu sosoknya tinggal beberapa langkah lagi. Nyaliku menguap. Aku tak tega. Sungguh. Dia menoleh dan menyadari keberadaanku. Melihatku mematung, dia menjemputku. “De, kenapa berdiri disini saja?” ucapnya sambil tersenyum. Hatiku merapuh. Aku masih tak bisa berkata-kata jadi dia meraih tanganku dan mengajakku duduk. Sean mendekatkan wajahnya dan mencium pipiku dengan lembut. “De, kenapa kau ini?” Nyaliku sudah sepenuhnya hilang jadi aku hanya tersenyum dan menjawab tak ada apa-apa. Dia percaya. Dia mulai membuka obrolan. Kami mengobrol dan hatiku menghangat. Aku menyayanginya. Aku hanya bosan. Dan hanya karena bosan aku berniat memutuskannya. Bagaimana dengan hatinya yang lembut. Bagaimana dengan ketulusannya. Dan air mata mulai memenuhi kelopak mataku. Tak sanggup dan memang tak ingin kutahan. Aku selalu merasa nyaman melakukan apapun di hadapan Sean. Tak terkecuali menangis. Dia tak pernah memprotes apapun yang kulakukan. Dan aku menyukai itu. Sean menyadari aku menangis. Ekspresinya langsung berubah. Khawatir, berlebihan namun tidak lagi memuakan. “De, kenapa? Ada apa? Kenapa menangis?” Katanya pelan. Namun tak menutupi nada khawatir dalam suaranya. Aku diam saja. Menatapnya. Air mata masih belum berhenti. Aku sangat menyesal. “De? Ini sepuluh bulan kita, 2 bulan lagi kita setahun. Lalu kenapa kau malah menangis?” Sean menghapus air mataku lembut. Aku hanya menggelang lemah. Aku hampir memutuskannya di hari spesial kami. “De, entah tepat atau tidak tapi hari ini aku memaksamu bertemu untuk memberikan ini.” Sean mengeluarkan kotak berwarna hitam dari sakunya. Aku memandangnya, tersentak ketika dia membukanya. Dua buah cincin. Putih bersinar-sinar tertimpa cahaya sore. Indah. Aku memeluknya. Menyadari betapa besar cintanya. Mensyukurinya. Tuhan terimakasih tak membiarkanku melakukan kesalahan. Dan satu hal saja. Aku ingin suatu saat nanti Re bisa menemukan sosok seperti Sean dalam hidupnya. Bukan yang memiliki banyak kesamaan. Namun justru yang memiliki banyak perbedaan. Agar ada tempat untuk saling mengisi dan melengkapi. Semoga saja Tuhan mendengarnya.

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: