Tempat Paling Indah

06.18 0 Comments

Malam ini tak berbeda dengan malam-malam kemarin. Aku masih sama berada di tempat ini untuk menunggumu. Kamu yang sekarang pergi tak pernah pulang, lupa dengan kekasihmu yang setia menunggumu di bawah sinar bulan. Dingin menusuk sampai ke tulangku, tulangku hampir rapuh menununggumu di setiap malam. Bersama bintang dan bulan yang menemani malamku disini, aku tak akan pernah lelah menunggumu walau hati dan pikiran ini mengajakku pergi untuk melupakanmu, dan tubuh ini mengajakku bangkit dan pergi dari tempat penuh kenangan ini. Tubuhku memang lelah terus menunggumu. Entah apa yang membuatku terus bertahan disini. Mungkin bulan atau bintang? Atau tulisanmu dalam surat itu yang meyakinkanku? Mungkin. Tak ada yang bisa mengubah jalan pikiranku. Walaupun ibu, ayah, kakak dan sahabat-sahabatku sudah mengingatkan kalau aku harus pulang dan tak lagi menunggumu setiap malam. Mereka bilang kamu itu pembohong, pengecut, atau apalah kata-kata yang tak sepantasnya ada dalam dirimu. Bahkan hatiku sudah seringkali mengingatkan untuk aku melupakanmu, pikiranku tak lagi jernih untuk bertahan mencintaimu. Pikiranku benar-benar buntu jika harus memilih antara kata-katamu atau kata-kata mereka yang lebih tahu siapa diriku. Apa kamu sudah lupa dengan kenangan kita? Dengan tempat ini yang selalu kau sebut dengan tempat penuh cinta? Kamu pernah bilang akan pulang saat surat terakhirmu kau kirim. Surat-suratmu sudah menumpuk, sampai berpuluh-puluh surat. Dan surat yang terakhir kau kirim, kamu menuliskan bahwa kamu akan pulang, dan kamu akan memberikanku kado terindah di tempat penuh cinta kita. Aku sangat senang membaca surat terakhirmu, dan malamnya aku langsung datang ke tempat ini. Tapi apa buktinya? aku sudah menunggu sampai bulan dan bintang habis termakan malam, sampai pagi mejemput fajar. “Rena? Bangun sudah pagi.” Terdengar suara lembut seseorang membangunkanku, dan aku yakin itu Rendi. “Rendi?” aku mengucek mataku yang sudah bengkak karena air mataku, mencoba memastikan apakah Rendi yang membangunkanku. “Aku Bima ren. Ayo bangun.” Dia mengulurkan tangannya, membantuku bangkit dari tidurku. “Siapa kamu? Kenapa kamu tahu tempat ini? Rendi mana?” aku menghujam beberapa pertanyaan tak berurutan. Dia tak menjawab, lalu dia menggandeng tanganku mengajakku pergi dari tempat penuh cinta ini ke suatu tempat. “Makam?” pertanyaan itu refleks terlontar dari mulutku saat tiba di tempat yang dituju pemuda yang bernama Bima itu. Dia tak menjawab lagi, otakku penuh dengan pertanyaan yang tak ada jawaban, tapi tak pernah lelah untuk mencari jawabannya. Dia masih tetap menggandeng tanganku. Padahal tanganku sudah ingin lepas dari genggamannya, tapi genggamannya sangat erat seperti genggaman Rendi. Sampai akhirnya aku dibawa ke suatu makam yang masih telihat basah tanahnya. Perlahan-lahan aku melihatnya, dan berharap makam ini bukan makam orang yang aku kenal, atau bahkan orang yang aku sayang. Tubuhku tiba-tiba lemah, pikiranku kacau, beribu pertanyaan menghujam otakku, kakiku bergetar bahkan hampir layu. Entah makhluk apa yang membuatku seperti ini, padahal aku belum menanyakan kepastiannya. “Ini makam Rendi.” Kata pemuda tak dikenal yang membawaku sampai di tempat ini. “Aku nggak patut percaya sama orang yang nggak aku kenal!” Jawabku menguatkan diri. “Aku akan ceritakan semuanya.” Ucapnya singkat. Lagi dan lagi dia menggandeng tanganku, entah kemana lagi dia akan membawaku pergi. Padahal tungkai kaki ini sudah lemas, tak kuat lagi untuk berjalan. Ternyata aku dibawa ke suatu tempat, tempat dimana aku dan Rendi pertama kali bertemu. Ya, di bawah pohon rindang tak jauh dari lokasi makam itu. Tempat itu memang sejuk, ditambah tempat duduk yang nyaman, lebih nyaman dibanding sofa empuk di kamarku. “Kamu boleh nangis, emosi, menjerit sekeras-kerasnya atau bahkan memukulku. Apapun yang bisa buat kamu lebih lega setelah mendengar ceritaku.” Ucapnya yang membuatku tak sabar mendengar ceritanya. “Apaan si kamu! Cerita aja belum udah bilang gitu.” “Rendi nitip kado ini buat kamu.” Pemuda seumuran Rendi itu memberikan kotak kecil dibalut kertas kado bergambar love. Tanganku sedikit bergetar menerima kado itu. Aku membukanya perlahan, berharap kertas kado itu tidak sobek, dan akan kujadikan koleksi bersama surat-surat Rendi. Aku membuka kotak pertama yang berisi lembaran fotoku bersama Rendi. Aku ingat sekali setiap moment dalam foto itu. Mataku tak kuat lagi menahan bulir-bulir air mata yang siap menetes. Satu persatu butir Kristal itu menetes di setiap lembaran foto yang kulihat. Setelah habis koleksi foto itu kulihat, aku membuka kotak kecil berbalut kertas kado dengan gambar yang sama dengan kotak pertama yang aku buka. Kotak itu lebih kecil dari kotak sebelumnya. Aku membukanya perlahan. Entah kenapa, tanganku tiba-tiba dingin, jantungkku berdegup kencang, seperti ada sebuah cerita di balik kotak kecil itu. “Cincin?” ucapku kaget setelah melihat isi kotak kecil itu. “Rendi nggak pernah bohong, dia juga bukan pengecut, dia selalu nepatin janji.” Kata pemuda itu membela Rendi. “Enggak!” Aku mulai sedikit emosi dengan pemuda itu. Dia tahu segalanya tentang Rendi. “Aku lebih tahu semua tentang dia daripada kamu karena aku sahabat karibnya. Terserah kamu mau percaya atau nggak.” “Aku belum percaya.” “Kamu pasti marah kan dengan sikapku yang sok kenal, yang udah berani menggandeng tangan kamu, yang udah ikut campur dalam urusanmu. Ya kan?” Aku hanya diam, malas banget jawab pertanyaan yang dia sendiri sudah tahu jawabannya. “Kamu siap dengar ceritaku?” tanyanya sedikit gugup. Aku melihat matanya dalam-dalam, rasanya aku tak patut lagi curiga dengan orang ini. Aku pikir dia tahu dimana keberadaan Rendi sekarang. “Aku mulai cerita ya?” “Malas banget aku jawab pertanyaan orang yang sok kenal seperti kamu!” jawabku cuek sambil memainkan jemari di tanganku. Dia menarik nafas panjang untuk memulai ceritanya. “Sebenarnya Rendi udah pergi, Ren. Dia nggak pernah bohong sama perkataan yang udah dia tulis di suratnya. Dia beneran pulang!” dia berhenti untuk menarik nafas lagi, lalu melanjutkannya. “Waktu itu sebelum dia pulang, dia cerita sama aku, kalau dia mau ngajak kamu dinner di tempat spesial yang udah dia siapin sebelumnya. Di sela dinner, dia mau ngasih cincin itu buat kamu, sebagai tanda kalau dia serius sama kamu, dan sebagai ikatan cinta yang nggak akan bisa terlepas. Dia udah rencanain semuanya matang-matang, dan berharap rencana itu nggak akan gagal. Tapi sayang, rencananya gagal saat dia akan menjemput kamu di tempat yang katanya penuh cinta itu.” Dia berhenti lagi bercerita, dan menarik nafas lebih panjang, tapi kali ini terasa berat. Pipiku yang sudah kering dari air mata, basah lagi. Kali ini air mataku sedikit deras menetes. “Ternyata rencana Tuhan lebih matang dari perencanan Rendi. Dia kecelakaan!” kali ini dia berhenti bercerita cukup lama. Dia memandangiku, menatapku dalam-dalam. Aku hanya bisa menunduk dengan tangisan yang tak berhenti hingga membasahi kedua pipiku. Tanganku juga tak berhenti mengusapnya. Lalu dia melanjutkan ceritanya. “Tapi, aku cukup beruntung karena Tuhan masih ngasih kesempatan buat aku ketemu Rendi. Di rumah sakit, awalnya Rendi masih sedikit kuat, dia cerita semuanya tentang kamu, dia juga yang nyuruh aku buat ketemu sama kamu untuk jelasin semuanya dan dia nitip kado yang udah dia siapin lama dan harus aku berikan ke kamu kalau waktunya udah tepat. Tapi sayang, Tuhan Cuma ngasih waktu buat aku bisa bicara sama Rendi beberapa menit saja. Tubuhnya semakin lemah, dan akhirnya dia koma, sampai Tuhan minta dia kembali ke pelukan-Nya.” Air mataku semakin deras, aku seperti tak ada tujuan hidup, rasanya aku ingin terbang menjemput Rendi. Hatiku benar-benar sudah rapuh, lemah tak berdaya. “Ja…di, itu makam Rendi?” tanyaku terbata-bata. Kali ini aku percaya dengan ucapannya. Dia hanya menganggukkan kepalanya. Kulihat pipinya mulai basah karena air mata, matanya memerah. Aku tak berpikir panjang, karena jalan pikiranku sudah benar-benar buntu, tak ada sedikit celah untuk aku berpikir. Aku berlari sekencang mungkin menuju makam yang masih basah tanahnya itu, ya makam Rendi. Tiba di depan makam Rendi, tungkai kakiku benar-benar tak kuat lagi berdiri, lemas, lemas sekali. Aku seperti melihat sosok Rendi di depanku atau mungkin ini hanya halusinasi, tapi aku sangat jelas melihat dia tersenyum manis, sangat manis. Aku menangis sejadi-jadinya di pusaran makam Rendi. Tapi aku tak sendirian, Bima yang sedari tadi ada di sampingku ikut menangis, dia mengelus lembut rambutku mencoba menguatkanku. “Kamu boleh nangis, bahkan boleh nangis sekeras-kerasnya. Tapi tangisanmu nggak bakal bisa buat Rendi kembali, semua sudah terjadi, Rendi udah bahagia disana, Ren. Kamu harus ikhlasin dia.” Ucap Bima di sela-sela tangisanku. Kini tangisanku semakin reda. Aku sadar, aku harus ikhlas menerima semua ini. Tuhan pasti punya rencana yang lebih indah setelah kejadian ini. Dan buat Rendi, semoga kamu tenang dan bahagia disana sayang. Tuhan sayang kamu, semoga kamu bisa melihat tempat penuh cinta yang lebih indah di Surga sana. Love you Rendi! Malam kali ini berbeda dengan malam-malam kemarin. Aku tak lagi berada di atas gedung. Malam ini lebih indah dari malam-malam kemarin, karena aku sudah tahu dimana Rendi sekarang. Rendi sudah bahagia, melebihi kebahagiaanku.

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: